perpustakaan

Jumat, 13 Desember 2013

pengembangan menulis karya sastra bagi anak & remaja dan Sastra bagi remaja




PENGEMBANGAN MENULIS KARYA
SASTRA BAGI ANAK DAN REMAJA
Dan
SASTRA BAGI REMAJA
 (Di susun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Sastra Indonesia)
Dosen pembimbing
IDAWATI,S.Ag.,M.Ag.





Di susun oleh:
Oktaviana        (11422044)

FAKULTAS ADAB JURUSAN SKI.ILMU PERPUSTAKAAN “B”
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
TAHUN AJARAN 2011 / 2012

DAFTAR ISI

PENGEMBANGAN MENULIS KARYA SASTRA BAGI ANAK DAN REMAJA
A.    PENDAHULUAN .................................................................................................
B.     TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................
1.      Pembinaan Menulis karya Sastra.......................................................................
2.      Perkembangan Kognisi dan Kreativitas Anak dan Remaja...............................
3.      Model Pembelajaran Sastra dan Menulis Karya Sastra.....................................
SASTRA BAGI REMAJA
1.      Sastra bagi remaja..............................................................................................
2.      Remaja Menulis Sastra......................................................................................
3.      Sastra Remaja: Aset Luarbiasa.................................................................
4.      Bersahabat Dengan Sastra.................................................................................
5.      Menggugah Sastra Indonesia Melalui Remaja..................................................
C.     DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................





  


PENGEMBANGAN MENULIS KARYA
SASTRA BAGI ANAK DAN REMAJA

A. Pendahuluan

Model pembinaan karya kreatif yang paling tepat untuk anak dan remaja adalah pembinaan yang didasarkan pada teori experiential learning dan constructivism. Menurut John Dewey (1994), anak belajar melalui pengalaman langsung. Apa yang dialami anak adalah sesuatu yang dipelajari. Sementara itu, Vygotsky (Bodrova & Leong, 1996) percaya bahwa manipulasi fisik dan interaksi sosial adalah dua hal yang sama-sama penting dalam proses perkembangan. Anak harus menyentuh, membandingkan secara fisik, mengatur dan mengatur ulang suatu benda sebelum ia memperoleh konsep besar dan kecil dan mengintegrasikan ke dalam kekayaan kognitifnya. Tanpa manipulasi dan pengalaman langsung (hands-on), anak tidak akan mengkonstruk pengetahuan. Jika seorang anak hanya dijejali ide guru dengan kata kata, maka ia tidak akan memiliki kesempatan menerapkan konsep untuk materi yang berbeda atau menggunakannya tanpa kehadiran guru. Di pihak lain, tanpa kehadiran guru pembelajaran anak tidak akan sama. Melalui interaksi sosial, anak-anak belajar karakter mana yang paling penting dan yang perlu diperhatikan. Guru berpengaruh langsung pada pembelajaran anak melalui aktivitas bersama (shared cognivity). Karena menekankankan konstruksi pengetahuan, pendekatan ini menekankan pentingnya identifikasi apa yang sesungguhnya diketahui anak. Melalui sensitivitas dan pertukaran pikiran dengan anak, guru dapat menemukan secara tepat konsep yang dimiliki anak. Dalam tradisi aliran ini, sangatlah biasa mendefinisikan belajar sebagai penerimaan pengetahuan yang menekankan peran aktif anak dalam proses tersebut. Dengan menekankan pada “kemandirian” dan penyuburan “kreativitas” melalui pengalaman langsung, anak akan memperoleh manfaat dari hakikat belajar, termasuk belajar menulis karya sastra kreatif. Menurut Vygotsky, tujuan belajar, perkembangan, dan pengajaran bukan sekedar mendapat dan mentransfer pengetahuan, tapi lebih pada upaya memperoleh “alat mental”. Dengan alat mental, anak akan menguasai perilakunya sendiri dan mencapai tingkat perkembangan yang lebih tinggi. Vygotsky mengaitkan tingkat perkembangan yang lebih tinggi dengan penggunaan “alat mental” dan kemunculan fungsi mental yang lebih tinggi
(Bodrova & Leong, 1996).[1]

Teori belajar dari sudut multiple intelligences juga dapat digunakan sebagai landasan
pembinaan menulis (Lihat Howard Gardner, 1993). [2]Pendekatan ini menekankan pada karakteristik cara dan bentuk belajar setiap anak. Anak dengan kecerdasan visual tinggi, misalnya, memiliki kemampuan mendeskripsikan objek dengan akurat. Sementara itu, anak dengan kecerdasan natural akan memiliki kecenderungan menghadirkan alam dalam setiap tulisannya. Anak dengan kecerdasan intrapersonal memiliki kemampuan mengeksplorasi kata hati dan refleksi yang baik. Selain itu, mereka juga memiliki cara yang berbeda untuk belajar menulis karya sastra kreatif. Dalam perspektif multiple intelligences (Armstrong, 1993) tidak ada anak bodoh. Setiap anak memiliki minat (sebagai bagian dari indikator kecerdasan) dancara tertentu untuk menyelesaikan masalah, termasuk masalah kepenulisan kreatif. Orang tua tidak dapat memaksakan apa yang harus dilakukan anak, karena apa yang dipikirkan pengajar belum tentu sesuai dengan apa yang dipikirkan anak. Anak (juga remaja) dan orang dewasa memiliki proses dan materi pikir yang berbeda. Karena teenlit mengisyaratkan dunia yang benar-benar “remaja”, maka cara terbaik untuk membina mereka adalah dengan membantu mereka menemukan jati diri dan kekuatan yang mereka miliki. Pembina tidak memberikan apa yang harus anak-anak lakukan, tetapi memberikan pemantik agar anak-anak memilih sendiri apa yang ingin mereka kerjakan. Bentuk, materi, dan gaya adalah milik anak-anak. Pembina dalam hal ini, memberikan materi untuk membuka jalan pikiran, menyuburkan ide, melapangkan imajinasi, dan menata bahasa agar apa yang mereka tulis dapat dipahami pembaca.
Penelitian ini berupaya menjembatani kesenjangan kebutuhan pendampingan dan kondisi yang ada saat ini. Penelitian ini bertarget produk yakni pedoman pendampingan menulis karya sastra yang sesuai dengan kecenderungan dan karakteristik anak, latar belakang social budaya, dan tingkat perkembangan anak. Penelitian dibuat dengan mempertimbangkan (1) tingkat perkembangan anak/remaja dalam segala aspeknya, (2) kemampuan dasar anak/remaja dengan karakteristik dan potensi kepenulisannya, (3) kepekaan anak terhadap pemajanan kultur dan konteks, (4) kemalaran atau kontinuitas pembinaan, (5) bobot nilai kesusasteraan yang secara optimal dapat dikuasai anak.
Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi karakteristik tulisan kreatif (cerpen dan novel) anak dan remaja; (2) mengidentifikasi hambatan pembinaan dan penulisan karya kreatif (cerpen dan novel) anak dan remaja; (3) mengidentifikasi kebutuhan pembinaan menulis karya sastra untuk anak dan remaja.

B. Tinjauan Pustaka

1. Pembinaan Menulis Karya Sastra

Karya sastra merupakan produk kreatif manusia. Karya sastra, sebagaimana karya kreatif lain, menuntut kemampuan penulis dalam menghasilkan komposisi atau gagasan yang pada dasarnya baru. Karya kreatif berupa kegiatan imajinatif atau sintesis pemikiran yang membentuk pola baru atau korelasi baru. Karya kreatif memiliki maksud dan tujuan, dan diciptakan dengan struktur yang relatif rumit (lihat Hurlock, 1997).
Model pembinaan karya kreatif yang paling tepat untuk anak dan remaja adalah pembinaan yang didasarkan pada teori experiential learning dan constructivism. Menurut John Dewey (1994), anak belajar melalui pengalaman langsung. Apa yang dialami anak adalah sesuatu yang dipelajari. Sementara itu, Vygotsky (Bodrova & Leong, 1996) percaya bahwa manipulasi fisik dan interaksi sosial adalah dua hal yang sama-sama penting dalam proses perkembangan. Anak harus menyentuh, membandingkan secara fisik, mengatur dan mengatur ulang suatu benda sebelum ia memperoleh konsep besar dan kecil dan mengintegrasikan ke dalam kekayaan kognitifnya. Tanpa manipulasi dan pengalaman langsung (hands-on), anak tidak akan mengkonstruk pengetahuan. Jika seorang anak hanya dijejali ide guru dengan katakata, maka ia tidak akan memiliki kesempatan menerapkan konsep untuk materi yang berbeda atau menggunakannya tanpa kehadiran guru. Di pihak lain, tanpa kehadiran guru pembelajaran anak tidak akan sama. Melalui interaksi sosial, anak-anak belajar karakter mana yang paling penting dan yang perlu diperhatikan. Guru berpengaruh langsung pada pembelajaran anak melalui aktivitas bersama (shared cognivity). Karena menekankankan konstruksi pengetahuan, pendekatan ini menekankan pentingnya identifikasi apa yang sesungguhnya diketahui anak. Melalui sensitivitas dan pertukaran pikiran dengan anak, guru dapat menemukan secara tepat konsep yang dimiliki anak. Dalam tradisi aliran ini, sangatlah biasa mendefinisikan belajar sebagai penerimaan pengetahuan yang menekankan peran aktif anak dalam proses tersebut.

2. Perkembangan Kognisi dan Kreativitas Anak dan Remaja

Untuk membuat suatu model pembinaan menulis karya sastra, perlu diketahui perkembangan anak dan remaja, setidak-tidaknya, perkembangan kognitif, moral, dan kreativitas mereka. Pembinaan yang tidak memperhatikan perkembangan anak cenderung salah arah tidak mengenai sasaran. Bagi anak, pembinaan semacam itu menjadi beban yang menganggu aktivitas mereka. Anak usia 10 tahun merupakan, menurut Piaget, berada pada masa operasional konkret dan sebagian lagi sudah berada pada masa operasional formal. Pada masa operasional konkret, anak telah mampu melihat permasalahan dari beberapa dimensi, dan tidak lagi egosentrik. Anak telah mampu melakukan aktivitas logis tertentu. Meskipun demikian, anak usia 10 tahun baru bisa melakukan operasi itu dalam situasi yang konkret. Mereka terikat pada masa kini dan belum mampu memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa ada (Haditono,dkk.,1998).
Anak usia 10-11 tahun ini cenderung menyelesaikan masalah secara langsung (langsung memasuki masalahnya). Mereka cenderung menyelesaikan masalah hanya dengan melihat akibat langsung usaha-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu. Anak pada usia ini akan menemukan cara kombinatorial secara tidak sistematis. Trial and error dilakukan untuk menemukan solusi kombinatorial. Sesudah itu, mereka mungkin tidak mampu membuatnya lagi. Perkembangan kognitif anak membawa konsekuensi logis pada karya sastra yang dilahirkannya. Ketidakmampuan anak berpikir sistematis cenderung melahirkan karya sastra yang linier Anak usia 12 tahun telah memasuki stadium operasional formal. Umumnya, anak memulai masa ini pada usia 11 tahun. Pada masa ini, pemikiran anak telah memiliki dua sifat penting. Pertama, sifat deduktif-hipotetis; Anak yang berpikir operasional formal bekerja dengan cara memikirkan dulu secara teoretis. Ia menganalisis masalahnya dengan berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisis ini, anak membuat suatu strategi penyelesaian. Analisis teoretis ini dapat dilakukan secara verbal. Anak lalu mengadakan pendapat-pendapat tertentu (proposisi-proposisi), kemudian mencari hubungan antara proposisi yang berbeda tersebut. Oleh karena itu, anak pada usia ini dikategorikan sebagai anak yang mampu berpikir proposisional. Kedua, sifat berpikir kombinatoris. Anak mempergunakan teori dan membuat matriks mengenai berbagai hal untuk menemukan kombinasi yang tepat. Anak menemukan penyelesaian secara sistematik dengan cara mencoba setiap kolom matriks secara empiris. Oleh karena itu, anak mampu menemukan dengan cepat kombinasi yang pernah ditemukannya. Ini berarti, anak mampu melakukan “problem-solving” secara ilmiah. Perkembangan kreativitas dipengaruhi berbagai faktor, antara lain waktu, kesempatan menyendiri, dorongan, sarana, lingkungan yang memfasilitasi, hubungan keluarga, cara mendidik, dan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan. Dalam kondisi positif, semua hal tersebut mendorong perkembangan kreativitas anak. Anak yang memiliki banyak waktu untuk bermain dengan gagasan-gagasannya, mencoba hal-hal yang baru, memiliki kesempatan untuk menyendiri dan mengembangkan kehidupan imajinatif yang kaya akan cenderung tumbuh
kreatif (Singer, 1977).
Anak akan memiliki perkembangan kreativitas yang baik apabila terbebas dari ejekan
dan tekanan, memiliki sarana untuk mengeksplorasi dan bereksperimen, pembinaan dan penghargaan sosial, dan selalu memiliki pengalaman yang menyenangkan saat berkreasi (tidak dicela dan dimarahi). Anak kreatif umumnya berasal dari keluarga yang tidak posesif dan cenderung percaya-mandiri, mendidik anak secara demokratis, dan memberi akses pengetahuan yang besar pada anak.
Kreativitas akan “bermasalah” pada usia tertentu. Anak usia 10 tahun memiliki kreativitas karena adanya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok tertentu. Mereka merasa bahwa untuk dapat diterima oleh kelompok, mereka harus menyesuaikan diri dengan pola gang yang telah ditetapkan. Mereka tidak berani menyimpang, sebab berpikir bahwa setiap penyimpangan akan membahayakan proses penerimaan (Hurlock, 1997).
Meskipun tidak mudah mengukur kreativitas seseorang, perilaku tampak dapat mengindikasikan adanya kreativitas yang tinggi pada diri seseorang, yakni keluwesan, kebutuhan akan otonomi, kebutuhan bermain, kesenangan mengolah gagasan, ketegasan, keyakinan diri, rasa humor, keterbukaan, persistensi intelektual, keingintahuan, keberanian mengambil resiko, dan ketekunan pada minat yang dipilih sendiri. Penelitian Dellas dan Gaier (1970) tentang anak kreatif menunjukkan, antara lain, bahwa ciri kreatif adalah memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan penggunaannya secara efektif, kemampuan untuk menghasilkan gagasan yang luar biasa dan tepat, banyak pengalaman hidup, kemampuan mensintesiskan gagasan yang baru dan berbeda. Anak yang kreatif mampu berpikir positif dan konstruktif dalam menanggapi masalah, memiliki intuisi kuat, kemandirian dalam sikap dan perilaku sosial.

3. Model Pembelajaran Sastra dan Menulis Karya Sastra

Karya sastra, menurut Aristoteles (via Rahmanto,1986) ada, yakni jenis puitik dan naratif. Kini masyarakat membaginya menjadi tiga, yakni puisi, drama, dan naratif (yang meliputi novel atau roman dan cerita pendek, serta novelet). Bakdi Soemanto (2005) menggugat pembagian yang tanpa menyertakan esai ini, karena menurutnya keduanya mengandung unsur fakta dan imajinasi Menurutnya, tidak ada karya sastra yang 100% hasil imajinasi, dan begitu pula dengan esai yang 100% fakta. Dalam buku-buku teori fisik atau naratologi biasanya diuraikan hakikat fiksi atau naratif, unsur-unsur (struktur) naratif, juga jenis-jenisnya. Dalam buku Forster yang berjudul Aspects of the Novel (1962) misalnya diuraikan aspek-aspek novel yang meliputi cerita, plot, tokoh,
fantasi, prophecy (tone of voice “nada ucapan”), pola dan irama. Stanton dalam An Introduction to Fiction (1965) menguraikan unsur fiksi menjadi fakta cerita yang meliputi plot, tokoh, dan latar; sarana cerita yang meliputi judul, sudut pandang, gaya, dan nada; serta tema. Belajar sastra pada hakikatnya adalah belajar menghargai manusia dan nilai-nilainya (Depdiknas, 2003).
Pembelajaran hendaknya berbasis contextual teaching and learning, yakni pemberian pengalaman belajar dan materi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi dan karakteristik siswa. Model ini telah diteliti oleh Cucu Kartini dalam risetnya dengan menggunakan metode Quasi Eksperimen (2005) dan oleh Dwi Heryanto dengan subjek siswa Kelas III SMA Negeri 19 Bandung, dan dinyatakan efektif.
Ada berbagai model pembelajaran sastra, antara lain model integratif yang menyatukan komponen berbicara, membaca, menulis, dan menyimak. Model ini menekankan segi apresiasi dan rekreasi. Bacaan diperhatikan, dan pemilihan buku atau bacaan disesuaikan dengan pengalaman membaca siswa, minat baca siswa, dan peninjauan terlebih dahulu terhadap buku atau bacaan (Tomkins & Hoskisson, 1995).
Model pembelajaran sastra yang menitikberatkan proses penciptaan sebagai tujuan
utama adalah model integrasi apresiasi, rekreasi, dan re-kreasi (Sudardi, 2003). Model ini menekankan pengalaman langsung dengan karya sastra, menemukan sendiri “sesuatu” dalam karya sastra, dan berkreasi. Epigon dianggap sebagai sebuah proses. Dukungan media diperhatikan, baik media cetak, elektronik, maupun internet (Wirajaya, 2005). Model lain dari pembelajaran sastra adalah model critical discourse analysis (CDA) atau analisis wacana kritis. Model ini menekankan (1) komprehensi untaian kata dan kalimat dalam wacana kritis, (2) penguntaian asosiasi semantis dalam wacana dengan konteks, (3) asumsi implisit yang melatarbelakangi, ciri koherensi, dan inferensi, (4) rekonstruksi pemahaman secara hermeneutis (Dharmojo, 2002). Model pembelajaran CDA ini berusaha untuk mengembalikan pembelajaran sastra pada khittahnya, yakni mengondisikan anak didik mencapai kepribadiannya (Sayuti, 2000).
Model pembelajaran menulis dapat dilakukan dengan pendekatan proses yang meliputi beberapa tahapan, yakni pra menulis, menulis draft, merevisi, menyunting, dan mempublikasi. Pada tahap prapemenulis ini, anak menyiapkan materi penulisan yang akan dituliskan, seperti memilih topik, mempertimbangkan tujuan, bentuk, dan pembaca serta memperoleh dan menyusun ide-ide (lihat Tomkins & Hoskisson, 1995).
Pendekatan proses dikembangkan lebih jauh menjadi model kontekstual (Kartini, 2005),
Heryanto, (2005). Pendekatan proses juga dikembangkan menjadi model bengkel sastra oleh Yunus Abidin (2005). Semua riset menunjukkan bahwa, subjek mengalami peningkatan menulis karya sastra. Ini menunjukkan bahwa pendekatan proses ini efektif untuk meningkatkan kompetensi menulis karya sastra.

Sejumlah pakar pendidikan di Yale-New Haven Teachers Institute
(www.yale.edu/ynhti/curriculum) bahkan menekankan perlunya proses writing (menulis karya sastra) dalam proses pembelajaran sastra. Mereka menamakannya strategi literature circle.
Jadi, pembelajaran sastra tidak hanya melibatkan kegiatan membaca karya sastra, mendiskusikan beberapa topik terkait dengan karya sastra, atau menyimak pembacaan karya sastra dan melaporkan hasil penyimakan dalam bentuk laporan, baik tulis maupun lisan. Proses pembelajaran sastra yang melibatkan proses kreatif akan membuat pembelajaran itu menjadi lebih bermakna bagi para siswa. Proses kreatif akan memberikan peluang kepada para siswa untuk mendapatkan skills (kemampuan) yang dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka. Manfaat itu antara lain dapat melatih komunikasi yang baik antara siswa dengan lingkungannya atau komunikasi pengarang (author) kepada para pembacanya (reader) dalam istilah Teeuw (2005).
-ide kreatif tentang penulisan sastra kreatif dikemukakan dengan menarik oleh Steven James. Dalam artikelnya yang berjudul Pump Up Your Creativity (2002), proses menulis karya sastra dapat dilakukan melalui beberapa cara. Yang pertama adalah dengan Explore Your L.I.F.E. atau dengan Eksplorasilah L.I.F.E.-mu!. L merupakan singkatan dari Literature. Maksudnya, proses kepenulisan harus diimbangi dengan banyak membaca karya sastra ang ada. Fungsinya tak lain adalah untuk menumbuhkan ide dan sebagai bentuk pembelajaran tentang teknik-teknik menulis dari berbagai pengarang. I merupakan singkatan dari Imagination. Maksudnya, imajinasi calon penulis harus dieksplorasi sebanyak mungkin. James menganjurkan untuk membebaskan imajinasi. F merupakan singkatan dari Folklore. Calon penulis dapat mengeksplorasi folkore atau sastra lisan yang dapat dijadikan inspirasi penulisan cerita. E merupakan singkatan dari experience atau pengalaman. Menulis bukanlah proses sekali jadi, melainkan melalui beberapa tahapan dan terkadang melewati beberapa pengalaman. Para siswa dianjurkan untuk mengasah kemampuan menulisnya dengan menulis sebanyak dan sesering yang mereka bias, sehingga mereka menjadi semakin terampil dan tulisan mereka menunjukkan peningkatan kualitas. Kedua, Change Your Perspective atau Ubahlah Perspektifmu. Mengapa proses menulis kadang dihindari atau dianggap sebagai suatu kegiatan yang tidak bisa dilakukan oleh semua orang? Hal itu, menurut James hanya mitos belaka dan harus segera diubah perspektifnya. Menulis bukan sesuatu hal yang sulit, namun hanya membutuhkan ketelatenan dan latihan. Menulis karya sastra pun demikian. Ketiga, Let Serependity Happen atau Biarkan Hal-hal yang Tak Terduga Terjadi. Jika seorang penulis kekurangan ide dan merasa kesulitan untuk menemukan ide, maka yang dapat dilakukan salah satunya adalah relaksasi sampai ditemukannya ide yang bisa menyambung cerita yang sementara terputus. Mengapa relaksasi itu penting? Karena, menurut James, mengkhawatirkan ketidakmampuan melanjutkan cerita secara terus-menerus bukanlah pemecahan yang baik. Berelaksasi merupakan salah satu cara yang selain rekreatif juga bisa dimanfaatkan sebagai bentuk penggalian ide baru. Keempat adalah Set Boundaries atau Membuat Perangkat Cerita. Perangkat cerita ini antara lain penetuan tema, deadline penyelesaian cerita, panjang pendek cerita, genre yang akan ditulis, dsb. Seorang penulis perlu merencakan beberapa penentuan itu sebagai perngkat
yang menjadi kemudi dari karya yang akan ditulisnnya. Kelima adalah Look for Connections atau Mencari Hubungan. Masalah kreativitas adalah masalah kemampuan untuk menggabungkan ide yang berbeda, pemikiran baru, dan mencoba mencari sesuatu hal yang baru. James menyarankan untuk berpikir secara metaforis sebagai upaya penemuan formula penyampaian cerita yang tidak biasa. Keenam, Ask Stupid Questions atau Tanyakanlah Hal-hal yang Konyol. Mengajukan pertanyaan yang mungkin dapat dianggap konyol itu perlu dalam rangka mengetahui: adakah hal-hal yang tertinggal dari tulisan yang telah dibuat atau apa yang ingin diketahui oleh pembaca mengenai cerita anak? Bisa saja ada hal yang sebenarnya menarik atau ingin anak tulis tapi tertinggal atau lupa tidak anak tuliskan. Bagaimana anak tahu jika ada hal yang kurang dari tulisan? James menyarankan untuk menyerahkan karya anak kepada pembaca agar ia dapat mengomentari karya yang telah anak buat. Terakhir atau keenam adalah Questions Your Direction atau Tentukan Tujuan Kepenulisanmu. James menyarankan untuk menanyakan tujuan kepenulisan anak . Seorang penulis sebaiknya tidak merasa cukup puas hanya dengan karya yang telah dihasilkannya. Sebaliknya, seorang penulis perlu membuat tujuan ke depan dari proses kepenulisan yang telah
dipilihnya.

Sastra Bagi Remaja
1.      SASTRA BAGI  REMAJA

Berkaitan dengan sastra remaja dan pembelajarannya, Hartley (2007) menjelaskan, bahwa ketika sastra lebih didekati sebagai karya yang penuh dengan pengalaman kehidupan dari pada sebagai pengalaman estetik, akan berpotensi untuk mempengaruhi banyak individu sebagai pembacanya, utamanya remaja. Melalui sastra, pembaca remaja dapat menemukan pengalaman hidup, membuat konkretisasi dan penyadaran melalui kekuatan sebuah bentuk seni yang luar biasa hebatnya. Siswa yang telah membaca sastra dan mampu mengkreasikan kembali teks sastra yang dibacanya itu, akan sulit terlepas dari pengaruhnya. Asher (2007) menyampaikan, bahwa cerita kehidupan yang disajikan dalam teks sastra mengenai tempat dan status manusia di tengah masyarakat, juga semua pengalaman manusia tentang dunia, dapat membantu siswa remaja untuk mencapai pemahaman tentang kehidupan dengan lintas ruang, lintas generasi, lintas waktu, dan lintas samudra. Karena itu, menurut Ford (2007), melalui membaca karya sastra remaja, siswa dapat memperoleh pengalaman menarik tentang kehidupan, sekaligus pengetahuan akademik dan konsep disiplin ilmu lain, seperti ilmu pengetahuan alam, matematika, dan ilmu sosial, melalui pendekatan membaca yang berbeda dari yang biasa digunakan, yaitu bentuk bacaan yang lebih familiar. Dengan membaca karya sastra remaja, siswa dapat melihat bagaimana sastra dapat berjalan dan berhubungan dengan bidang ilmu akademik.
Menurut Dail (2007), teks sastra remaja ada beragam jenisnya, mulai dari logo baju, lirik lagu, musik, majalah, bahkan situs atau website. Jakob Sumardjo dan Burhan Nurgiyantoro (1982: 45-48; 2002: 16-22); membagi sastra fiksi menjadi dua jenis, yakni sastra literer dan sastra
Populer atau sastra serius dan hiburan. Sastra literer adalah sastra yang memiliki bobot literer dan berisi masalah-masalah serius dalam kehidupan manusia, seperti masalah kemanusiaan, politik, moral, agama, sufistik, filsafat, dan sebagainya. Selain itu, pada umumnya sastra literer memiliki fungsi sosial, yaitu memperkaya khasanah batin pembaca atau penikmatnya. Adapun sastra populer atau hiburan adalah sastra yang ringan bobot literernya, dan berisi masalah-masalah yang lebih mengedepankan hiburan belaka. Pada umumnya, sastra populer mengemukakan kenyataan semu, bahkan fantasi atau cerita yang mengandung kadar emosi berlebihan. Selain itu, sastra populer juga mengetengahkan tema-tema percintaan yang sentimental, kekerasan, pembunuhan, dan sedikit mengarah pada pornografi. Dail (2007) menjelaskan, bahwa penting bagi guru sastra untuk memahami dan memperhatikan berbagai ragam jenis sastra, sebagai alternatif materi yang dapat disajikan dalam pembelajaran di kelas. Berbagai ragam genre sastra yang berbeda, seperti misteri (horror), fiksi sejarah, fiksi ilmiah, multikultural, dan buku-buku sastra lain yang berkualitas, merupakan alternatif yang baik untuk dipilih sebagai materi pembelajaran yang menarik dan mudah untuk ditemukan oleh guru dan siswa. [3]

2.     Remaja Menulis Sastra
“Menulis mudah, menulis indah, menulis dan menulis. Dalam menulis tidak ada kata sulit untuk melakukannya. Apa yang terlintas dalam pikiran tulis, apa yang terlintas di hadapan diri tulis, jadi kejadian apapun, di mana pun yang sering akrab dengan kita, tulis. Didorong juga dengan semangat yang keras dan tanpa ada kata menyerah, tanpa ada kata malas. Tanpa kreativitas semua ruangan tidak akan berpenghuni, tanpa kreativitas dunia hampa, maka tuanglah seisi duniamu dengan menulis, berkarya dan membaca. Itulah yang dituturkan  Hasan Al Banna salah seorang pembicara dalam acara workshop sastra dan sekaligus launching buku Antologi Puisi, Cahaya dan Cerpen, Ma Hyang.
Dunia sastra berkaitan dengan dunia berbahasa, meramu kata dan melukis kehidupan. Dengan sastra hidup lebih indah, dengan sastra hidup lebih bermakna. Sastra bisa dikatakan sangat berperan penting dalam kehidupan. Sastra dapat membuat perubahan yang lebih baik, sastra juga dapat membuat orang lain menjadi jatuh cinta dengan makna – makna kata yang semilir mengalir.
Bagi orang yang kritis dalam berbahasa mereka menggambarkan suatu makna dengan hal yang sulit dibayangkan oleh kebanyakan orang lain. Tetapi, bila diperhatikan dengan teliti gambaran yang dibuat oleh orang – orang yang kritis berbahasa sangat mempunyai makna yang cukup mendalam. Bisa terbawa alur cerita. Tidak terlalu rumit untuk berkenalan dengan sastra yang sejatinya membantu dalam hal rutinitas sehari – hari. Namun yang disayangkan, masih banyak orang yang berpikir menulis dan membaca itu tidak penting hanya membuang waktu dengan percuma, padahal begitu banyak manfaat yang bisa dirasakan dengan menggeluti kegiatan di setiap harinya.
Sejatinya menulis dan membaca sejalan dan tidak terpisahkan satu sama lain. Menulis adalah hal yang paling menyenangkan dan mengasyikkan, dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dalam situasi apa saja. Begitu banyak seni serta budaya yang tidak terlepas dari kehidupan kita.
Dalam hal ini, sastra dapat terbentuk dengan wawasan dan pengetahuan yang luas. Semua objek yang ada di sekitar kita dapat kita prioritaskan dan kita ungkapkan. Salah satu contoh ialah puisi. Puisi adalah bentuk ekspresi pengalaman empirik atau batin seseorang yang diwujudkan dengan bahasa-bahasa indah, perumpamaan dan kiasan. Puisi juga merupakan cara penyampaian tak langsung dari seseorang terhadap sesuatu hal yang dirasa menggelitik naluri estetika, emosi dan perasaan jiwa yang dialami seseorang serta mempunyai nilai tinggi dan bermakna.
Cara tak langsung itu dilakukan melalui aneka bentuk perumpamaan yang terangkai dalam sajian kata-kata yang indah, singkat, multitafsir dan cerdas. Puisi sebagai salah satu bentuk karya sastra memiliki dua fungsi yakni sebagai karya sastra itu sendiri dan juga sebagai cara atau alat bagi siapa yang memegang puisi tersebut. Tak jarang kita temui seorang yang merayu orang lain menggunakan kata-kata indah sebuah puisi. Pasangan kekasih yang sedang dimabuk cinta biasanya merupakan orang-orang yang sangat sensitif dengan nilai-nilai keindahan sebuah puisi.
Jadi sangat jelas bahwa disamping memiliki fungsi sebagai karya sastra itu sendiri, puisi adalah juga sebuah cara atau alat yang diciptakan seseorang dalam meraih sebuah tujuan yang ia inginkan. Contoh lainnya ialah cerpen. Cerpen ialah, anak kedua setelah puisidari karya sastra.
Hanya saja cerpen merupakan sebuah cerita pendek yang diungkapkan dalam bentuk kisah kehidupan seseorang yang digoreskan di helaian kertas atau diary. Cerpen biasanya juga diangkat dari cerita – cerita khayalan, nyata, dan curahan hati seseorang. Bahasa dan isinya mudah dipahami. Dengan demikian, cerpen tersebut dapat di baca kurang dari satu jam dan isinya tidak terlupakan oleh pembacanya sepanjang waktu. Semua berharap, bakat menulis sastra dan budaya tidak terkubur dalam pusara waktu. Juga kreativitas terus tumbuh dan berkembang dari akar yang kuat serta tanah yang subur. Artinya teruslah menulis dan berkarya untuk menumbuhkembangkan budaya bangsa. Sehingga budaya tersebut dapat tumbuh dan kokoh walau harus berganti musim sekalipun.

POPULER adalah cara gampang yang diburu remaja sekarang untuk mempunyai eksistensi yang diakui oleh masyarakat luas. Wajah dikenal banyak orang, kaya raya serta banyak dipuja remaja-remaja seantero nusantara. Untuk sampai pada kata populer banyak remaja yang berusaha keras, mencoba berbagai hal untuk mengembangkan potensi dan menemukan jati diri. Sastra menjadi satu pilihan di antara sekian. Ajang lomba nyanyi, pemilihan top model serta berbagai festival pelajar, baik kompetisi mata pelajaran atau kreativitas. Semua menjadi cara untuk berusaha memberikan yang terbaik bagi diri sendiri dan juga bagi orang-orang yang dikasihi
Pandangan orang tentang sastra dulu dan sekarang sangat berbeda. Tetapi karena efek dari globalisasi yang menimbulkan keterbukaan informasi menjadikan remaja sekarang sanggup menjadikan sastra seperti bagian dari gaya hidup dan kebanggaan mereka. Forum lingkar pena yang mengasah dan menghasilkan para penulis muda. Fenomena ciklit dan kepopuleran yang didapat para penulis di usia muda sanggup mengilhami sekian remaja di Indonesia untuk bertarung masuk di dunia sastra. Bagi saya pribadi tidak penting apakah mereka akan sampai pada pencapaian puncak untuk menghasilkan karya luar biasa. Karena proses setiap orang berbeda dan saya termasuk orang yang menghargai proses individual. Lepas dari itu, kegairahan tersebut harus didukung sepenuhnya untuk membuka dan memberi wacana baru bagi perkembangan sastra Indonesia.
Remaja pecinta sastra adalah aset yang luar biasa bagi Sastra Indonesia. Mereka tidak hanya menjadi market dari buku-buku sastra, tetapi juga akan memberikan kontribusi bagi perkembangan Sastra Indonesia ke depan. Berkali-kali jika saya kedatangan tamu atau bertemu dengan seseorang di acara resmi maupun tidak resmi, baik remaja, ibu-ibu dan juga bapak-bapak, mereka sering menanyakan pada saya, bagaimana menulis itu, tapi mereka menambahkan bahwa sudah menyimpan sekian puluh tulisan tapi takut salah karena merasa jelek sehingga tidak pede untuk mempublikasikannya. Terus terang saya heran, meski manusiawi tapi pertanyaan muncul juga di benak saya, kenapa orang takut salah dalam menulis, takut dicap jelek tulisannya, padahal mereka mampu menghasilkan tulisan yang disimpan sendiri. Jadi, menulis bagi saya, bukan persoalan bakat atau tidak. Yang terpenting adalah kemauan.
Menulis bagi saya adalah kebutuhan. Dan saya berharap, begitupun remaja kita. Bukan hanya menulis sastra tetapi apa saja. Sehingga kita bisa belajar mendokumentasi perasaan dan pikiran-pikiran kita karena satu peristiwa atau lain hal. Lihatlah bagaimana tokoh-tokoh dunia melakukan hal yang sama. Menulis. Semua orang top di dunia, melengkapi dirinya dengan menulis. Mahatma Gandhi, Jawaharar Nehru, Soekarno, Bill Clinton, adalah sedikit di antara tokoh-tokoh dunia yang merasakan bagaimana dunia ada dalam genggamannya, tapi mereka tetap ”merasa perlu” melengkapi dirinya dengan tulisan-tulisan untuk mendokumentasi dan memberikan sesuatu bagi generasi di bawahnya. Untuk itu, mulailah menulis sekarang, apa saja. Agar kita bisa membuat catatan untuk dibaca diri kita sendiri, oleh orang lain yang akan bisa mengambil hikmah dan juga makna dari apa yang kita tuliskan.
Sungguh bukan hal yang mudah untuk berubah dan memulai sesuatu yang baru. Tetapi tekad yang kuat menjadi suplemen yang luar biasa untuk menyemangati diri maju dan berkembang menuju cita-cita dan impian. Saya salut ketika anak-anak KASAT bercerita pada saya. Sekarang memang jarang ada komunitas sastra di sekolah. Tidak banyak juga sanggar-sanggar di luar yang mengkhususkan diri pada pembelajaran tentang sastra. Saya berharap teman-teman Komunitas Sastra Teladan (KASAT) bisa menjadi pelopor untuk tumbuh dan berkembangnya komunitas sastra di sekolah-sekolah. Tahun lalu ketika saya diundang Pusat Bahasa untuk ke Kendari, di sana saya bertemu anak-anak SMA dan mereka mengeluhkan bahwa mereka menjadi kelompok yang elite karena minat mereka pada sastra dan teater. Meski di sekolah belum terbentuk komunitasnya, tetapi Taman Budaya dan Balai Bahasa memberikan ruang bagi mereka untuk berekspresi dan mengembangkan diri.
Sudah saatnya, remaja menjadikan sastra sebagai gaya hidup dan kebanggaan. Dengan begitu apa yang terjadi sekarang (merebaknya karya-karya remaja yang dibukukan) tidak hanya booming sesaat tetapi bisa berlanjut, dan semakin banyak untuk memberi warna bagi sastra Indonesia. Saya mengucapkan selamat datang dan memasuki dunia sastra. Salam!

4.     Bersahabat Dengan Sastra
Kehidupan selalu mengalami perubahan, begitu juga sastra. Sastra selalu memiliki karakteristik yang berbeda di masing-masing zaman. Mulai zaman Balai Pustaka, Pujangga Baru, Angkatan ’45, sampai Angkatan ’66.  Saat itu dunia sastra masih didominasi oleh kaum pria. Namun, di zaman sekarang kaum hawa mampu mengambil peran serta untuk mewarnai jagat raya sastra. Sebagai sebuah karya, sastra mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat, khususnya bagi kaum remaja.  Masa remaja adalah masa-masa transisi perubahan seseorang, dari kanak-kanak menjadi seorang dewasa yang mempunyai kepribadian mapan.
 Pada masa ini, remaja sedang gencar mencari jati diri, sehingga cenderung meluapkan ekspresinya secara besar-besaran. Oleh karenanya, sastra dianggap penting sebagai media untuk para remaja mewadahi, bahkan perwujudan ekspresi dirinya dalam sebuah karya yang baik dan positif.  Hal ini sebagaimana diungkapkan U’um Qomariyah SPd MHum, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Semarang. U’um beranggapan keberadaan sastra sangat berguna dan bermanfaat. Sastra mampu mengalihkan perhatian remaja agar tidak terjerumus ke hal-hal negatif. Selain itu banyak nilai-nilai yang dapat diambil dari sebuah sastra. Karya sastra berbeda dengan senjata, lebih dari itu, ia lebih tajam dari senjata. Karena sastra mampu mengubah prinsip dan paradigma sosial manusia.
Sebagai sebuah karya, sastra begitu akrab dan cukup diminati para remaja. “Lebih dari 70 persen remaja saat ini menyukai karya sastra. Untuk mahasiswa sendiri baik yang jurusan nonsastra pun menyukainya, terutama novel,” ungkapnya saat diwawancarai Tim Akademia, Senin (8/8) lalu. Namun sayangnya, dari jumlah tersebut, sebagian hanya menikmati karya sastra sebagai sebuah hiburan, bukan sebagai ilmu yang bermanfaat untuk dipelajari. Fenomena yang sering terjadi, menunjukkan suatu keterkaitan antara kegemaran membaca dengan menulis, begitu pula sebaliknya. Biasanya remaja yang tidak suka membaca, sulit untuk diarahkan agar tertarik pada karya sastra. Karena ada empat prinsip keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, menulis, dan membaca.  Usia para remaja yang masih bergejolak ekuivalen dengan minat ketertarikan yang tinggi. Sayangnya, remaja masih kebingungan dalam mencari bentuk sebuah tulisan dan masih mengalami kesulitan dalam mengeksplorasi ide yang masih semu. Untuk itu, Langit Kresna Hadi, penulis novel sejarah Gajah Mada ini, mengajak para remaja untuk berpikir sebagaimana seorang pengarang, bagaimana pengarang melihat suatu objek, merasakan, memikirkan, serta berkhayal.
Menumbuhkan Minat Ide untuk memasukkan sastra dalam kurikulum pembelajaran atau hanya sekadar ekstrakurikuler pun dapat menjadi sebuah alternatif untuk menumbuhkan minat baca-tulis seorang remaja. “Sebuah ide yang bagus untuk mengenalkan remaja pada dunia sastra, tetapi yang menjadi sebuah kendala adalah mencari ahli pengajar yang konsisten terhadap sastra dan betul-betul memahami esensi sastra”, ujar penulis yang sekaligus melatih para remaja dalam hal tulis-menulis di Ar-Royan, Surakarta. Bukan hanya tanggung jawab pihak yang berwenang menggubah kurikulum untuk menumbuhkan minat baca-tulis seorang remaja. Namun seluruh pihak, baik para sastrawan, bahkan pasar di dunia tulisan. Sastra tidak hanya sekadar ilmu yang mengajari kita dalam dunia tulisan. Lebih luas, esensi sebuah sastra adalah dia mengajari kita untuk belajar dari masa lampau melalui sebuah tulisan.  Dikatakan Langit Kresna Hadi, jangan selalu pragmatis melihat sastra sebagai suatu hal yang menjemukan. Apabila diolah dengan baik, sastra dapat menjadi suatu hal yang luar biasa, bahkan dapat menjadi penopang hidup. Seperti yang terlihat beberapa tahun lalu, ketika novel bertema remaja menyedot banyak perhatian. Sebut saja novel Eiffel, I’m in Love yang juga dikarang oleh seorang remaja, dengan bahasa yang ringan dan tema yang mudah dimengerti. Novel ini begitu laris manis di pasaran. Pasar pun begitu antusias dalam melihat celah ini. n Tim UNS Saat itu dunia sastra masih didominasi oleh kaum pria. Namun, di zaman sekarang kaum hawa mampu mengambil peran serta untuk mewarnai jagat raya sastra. Sebagai sebuah karya, sastra mendapatkan tempat tersendiri di hati masyarakat, khususnya bagi kaum remaja.
Masa remaja adalah masa-masa transisi perubahan seseorang, dari kanak-kanak menjadi seorang dewasa yang mempunyai kepribadian mapan. Pada masa ini, remaja sedang gencar mencari jati diri, sehingga cenderung meluapkan ekspresinya secara besar-besaran. Oleh karenanya, sastra dianggap penting sebagai media untuk para remaja mewadahi, bahkan perwujudan ekspresi dirinya dalam sebuah karya yang baik dan positif. Hal ini sebagaimana diungkapkan U’um Qomariyah SPd MHum, dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Semarang. U’um beranggapan keberadaan sastra sangat berguna dan bermanfaat. Sastra mampu mengalihkan perhatian remaja agar tidak terjerumus ke hal-hal negatif. Selain itu banyak nilai-nilai yang dapat diambil dari sebuah sastra. Karya sastra berbeda dengan senjata, lebih dari itu, ia lebih tajam dari senjata. Karena sastra mampu mengubah prinsip dan paradigma sosial manusia.
Sebagai sebuah karya, sastra begitu akrab dan cukup diminati para remaja. “Lebih dari 70 persen remaja saat ini menyukai karya sastra. Untuk mahasiswa sendiri baik yang jurusan nonsastra pun menyukainya, terutama novel,” ungkapnya saat diwawancarai Tim Akademia, Senin (8/8) lalu. Namun sayangnya, dari jumlah tersebut, sebagian hanya menikmati karya sastra sebagai sebuah hiburan, bukan sebagai ilmu yang bermanfaat untuk dipelajari.  Fenomena yang sering terjadi, menunjukkan suatu keterkaitan antara kegemaran membaca dengan menulis, begitu pula sebaliknya. Biasanya remaja yang tidak suka membaca, sulit untuk diarahkan agar tertarik pada karya sastra. Karena ada empat prinsip keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, menulis, dan membaca.  Usia para remaja yang masih bergejolak ekuivalen dengan minat ketertarikan yang tinggi. Sayangnya, remaja masih kebingungan dalam mencari bentuk sebuah tulisan dan masih mengalami kesulitan dalam mengeksplorasi ide yang masih semu. Untuk itu, Langit Kresna Hadi, penulis novel sejarah Gajah Mada ini, mengajak para remaja untuk berpikir sebagaimana seorang pengarang, bagaimana pengarang melihat suatu objek, merasakan, memikirkan, serta berkhayal.
Menumbuhkan Minat Ide untuk memasukkan sastra dalam kurikulum pembelajaran atau hanya sekadar ekstrakurikuler pun dapat menjadi sebuah alternatif untuk menumbuhkan minat baca-tulis seorang remaja. “Sebuah ide yang bagus untuk mengenalkan remaja pada dunia sastra, tetapi yang menjadi sebuah kendala adalah mencari ahli pengajar yang konsisten terhadap sastra dan betul-betul memahami esensi sastra”, ujar penulis yang sekaligus melatih para remaja dalam hal tulis-menulis di Ar-Royan, Surakarta. Bukan hanya tanggung jawab pihak yang berwenang menggubah kurikulum untuk menumbuhkan minat baca-tulis seorang remaja. Namun seluruh pihak, baik para sastrawan, bahkan pasar di dunia tulisan. Sastra tidak hanya sekadar ilmu yang mengajari kita dalam dunia tulisan. Lebih luas, esensi sebuah sastra adalah dia mengajari kita untuk belajar dari masa lampau melalui sebuah tulisan.  Dikatakan Langit Kresna Hadi, jangan selalu pragmatis melihat sastra sebagai suatu hal yang menjemukan. Apabila diolah dengan baik, sastra dapat menjadi suatu hal yang luar biasa, bahkan dapat menjadi penopang hidup. Seperti yang terlihat beberapa tahun lalu, ketika novel bertema remaja menyedot banyak perhatian. Sebut saja novel Eiffel, I’m in Love yang juga dikarang oleh seorang remaja, dengan bahasa yang ringan dan tema yang mudah dimengerti. Novel ini begitu laris manis di pasaran. Pasar pun begitu antusias dalam melihat celah ini. 
5.      Menggugah Sastra Indonesia Melalui Remaja
JAKARTA--Kendati karya sastra dewasa ini disebut-sebut sedang dalam posisi terpuruk, Pusat Bahasa masih gigih menggugah minat kaum muda untuk mendalaminya, antara lain dengan menyelenggarakan lomba penulisan cerita pendek untuk pelajar SMP dan SMA. "Tahun 2008 adalah tahun bahasa dan dalam peringatan 60 tahun Bahasa Indonesia, kami juga mengingatkan kembali bahasa sastra adalah bagian dari Bahasa Indonesia. Jadi, peringatannya adalah bahasa dan sastra," ujar Kepala Pusat Bahasa Dr Dendy Sugono.
Penilaian terhadap cerpen karya peserta dari seluruh Indonesia sudah dilakukan dan hasilnya akan diumumkan pada puncak peringatan Tahun Bahasa yaitu pada 28 Oktober 2008 bertepatan dengan pembukaan Kongres IX Bahasa Indonesia di Jakarta. Dari naskah-naskah cerpen yang masuk, terdilihat minat remaja terhadap karya sastra cukup tinggi. Tema yang masuk juga sangat beragam, khususnya menyangkut kehidupan keseharian para penulisnya, tutur Emma Sitahang Nababan dari Pusat Bahasa yang menjadi salah seorang panitia lomba menulis cerpen. Selain tema yang beragam, pemakaian bahasa juga bervariasi termasuk memakai bahasa "gaul." Tetapi agak disayangkan, naskah dari daerah atau kota-kota kecil masih sedikit yang masuk dan beberapa naskah dari seluruh peserta diketahui ada yang menyontek karya-karya penulis terkemuka bahkan termasuk karya Hamsad Rangkoeti, salah seorang juri.
Naskah para peserta lomba cerpen itu dijaring melalui kota-kota yang memiliki Balai Bahasa yang seluruhnya berjumlah 22 dan dari Jakarta, masing-masing diwakili oleh sepuluh naskah terbaik yang terjaring dalam seleksi di tingkat balai. Keprihatinan mengenai tingkat pelajaran sastra yang sangat kecil di tiap sekolah juga diungkapkan penyair Taufiq Ismail yang pernah menyelenggarakan program khusus untuk memberikan pelajaran sastra keliling sekolah. Pusat Bahasa pun menyelenggarakan kegiatan serupa dengan menghadirkan Putu Wijaya ke daerah-daerah. "Anak-anak sebenarnya haus akan bacaan, tetapi seringkali orang dewasa di sekitarnya tidak menyadari hal itu," kata Julius Felicianus, Direktur Penerbit Galang Press.
Ketika Galang Press memelopori pengiriman parsel lebaran berisi paket buku untuk seluruh anggota keluarga, ada penerima parsel yang menyampaikan catatan bahwa ia merasa tersindir karena anaknya berujar : "Ayah, kalau memberi hadiah yang seperti ini, buku-buku ini aku suka," sementara si ayah mengaku selama ini tidak pernah menghadiahi anaknya dengan buku, kata Julius.
Munculnya sejumlah penulis berusia muda, terutama anak-anak yang terinspirasi "manga" Jepang dan kisah Harry Potter, tidak dapat dipungkiri merupakan persemaian yang subur untuk menumbuhkan penulis-penulis muda Indonesia. "Anak-anak biasanya akan mulai dengan bacaan yang ringan, komik, lalu meningkat menjadi yang lebih berat. Tetapi lembaga pendidikan dan orang tua perlu menyediakan dukungan untuk memotivasi mereka," kata Julius.
Meskipun karya-karya penulis muda masih dangkal, Sastrawan F Rahardi menilai positif munculnya bibit-bibit muda itu karena kondisi ini dapat ditingkatkan melalui peran serta berbagai pihak mulai dari lingkungan di rumah, sekolah, penerbit hingga toko buku.
Menurutnya, kurikulum di sekolah tertinggal jauh dibanding gejala yang ada di masyarakat. Sekolah dan guru mempunyai "kekuasaan" untuk memberikan pelajaran dengan mengembangkan kreativitas. Rahardi mengambil contoh sistem pendidikan yang dilakukan oleh lembaga Pendidikan Alternatif Qaryah Thayyibah di Salatiga yang mengedepankan kreativitas, sehingga menguatkan bukti bahwa keterbatasan modal (uang) bukan menjadi penghalang bagi kreativitas. Ruang-ruang untuk memancing kreativitas bidang sastra baik itu puisi dan prosa semakin sempit, paling tersedia pada beberapa koran dan majalah yang masih peduli dan menyediakan rubrik khusus.
Tak mengherankan jika kemudian penulis-penulis muda berkiblat ke karya sastra dunia seperti Ataka Awwalur Rizqi yang melahirkan Misteri Pedang Skinheld karena terinspirasi cerita Lord Of The Ring dan Harry Potter, kendati ia juga melahap karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Demikian pula penulis Fathia yang terilhami kisah Naruto (Jepang). Indonesia pernah memiliki karya-karya sastra Melayu atau karya sastra asli, tetapi jika tidak dicetak ulang, para pembaca muda akan kesulitan mendapatkannya karena toko buku tidak menyediakan buku-buku lama, kata Rahardi. Sementara Julius mempertegas bahwa perpustakaan sekolah pun sekarang kebanyakan berbelanja buku panduan praktis, bukan karya sastra seperti masa-masa 1950-an hingga 1980-an. "Guru atau petugas perpustakaan berbelanja buku dengan melihat selera pribadi, bukan kepentingan umum dan menjangkau ke depan," katanya menegaskan.Ant/Maria D. Andriana/ya





























Daftar Pustaka
Abidin, Yunus. 2005. Penerapan Model Bengkel Sastra sebagai Upaya Meningkatkan
Kemampuan Mahasiswa dalam Menulis Cerita Pendek dan Menyusun Strategi
Pembelajaran Menulis Cerita Pendek. Tesis : PBSI FPBS UPI.
Armstrong, Thomas. 1993. 7 Kinds of Smart : Identifying and Developing Your Intelligences.
New York : Penguin Group.
Bodrova, E. & Leong, D.J. 1996. Tools of The Mind : The Vygotskian Approach to Early Childhood Education. Ohio : Merill, Prentice Hall. Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP/MTs. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004: Standar Kompetensi Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia untuk SMA/MA. Jakarta: Depdiknas.
Dewey, J. 1994. Democracy and Education. HTML markup copyright ILT Digital Classics.
http://www.ilt.columbia.edu/publications/Projects/digitexts/dewey. diakses tanggal 11
Desember 2005.
Forster, E.M. 1978. Aspects of The Novel. USA: Penguin Books
25
Gardner, Howard. 1993. Multiple Intelligences : The Theory in Practice A Reader. New York :
Basic Books.
Heryanto, Dwi. 2005. Keefektifan Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Menulis Cerpen
di SMA: Penelitian Eksperimen di Kelas III SMA Negeri 19 Bandung Tahun Ajaran 2005-
2006. Tesis : PBSI FPBS UPI Bandung
Howard, Maureen. 2005. “Some Strategies for Teaching About Adolescent Friendships in
Literature” dalam www.yale.edu/ynhti/curriculum. diakses tanggal 11 Desember 2005.
Hurlock, B. Elizabeth. 1997. Perkembangan Anak. (Jilid 2). Jakarta : Erlangga.
Hurlock, B. Elizabeth. 1999. Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta : Erlangga.
James, Steven. 2002. “Pump Up Your Creativity” dalam The Complete Handbook of Novel
Writing. USA: Writer’s Digest Books.
Kartini, Cucu. 2005. Pembelajaran Kontekstual dalam Menulis Kreatif Cerpen pada Mata
Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia : Studi Quasi Eksperimen pada Siswa Kelas VIII
Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Bandung. Tesis: PBSI FPBS UPI.
Rahmanto, B. 1986. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
Sayuti, Suminto A. 2000. “Menuju Pendidikan dan Pembelajaran Sastra yang Memerdekakan:
Catatan Pengantar dalam Sudiro Satoto dan Zaenuddin Fananie. Sastra : Ideologi,
Politik, dan Kekuasaan. Surakarta : Muhammadiyah University Press.
Soemanto, Bakdi. 2005. “Bagaimana Menulis Kreatif” (makalah PIBSI XXVII, Yogyakarta, 27-28
September 2005)
Stanton, Robert. 1965. An Introduction to Fiction. New York: Holt, Rinehart and Wiston.
Teeuw, A. 2003. Sastra dan Ilmu Sastra (edisi ke-3). Jakarta: Pustaka Jaya
Tim Pascasarjana UNY. 2003. Pembelajaran Efektif, Pembelajaran Kontekstual dan Berpikir
Kritis. Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama, Dikdasmen, Depdiknas.
Tomkins, G.E. and Hoskisson, K. 1995. Language Arts: Content and Teaching Strategies. (Third
Edition). New Jersey: Merril.
Vygotsky, L. 1978. Mind in Society : The Development of Higher Mental Processes. Cambridge,
Mass : Harvard University Press.
Wirajaya, A.Y. 2005. “Kreasi, Rekreasi, dan Re-kreasi Sastra : Sebagai Bagian dari Penulisan
Kreatif”. (Makalah PIBSI XXVII, Yogyakarta, 27-28 September 2005
CATATAN BIODATA PARA PENULIS
Suminto A. Sayuti: Guru Besar pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Pendidikan doktoralnya diselesaikan
di Pascasarjana IKIP Jakarta pada 1996.
26
Pratiwi Wahyu Widiarti: dosen pada Jurusan PPKn, Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi,
Universitas Negeri Yogyakarta. Kini sedang menempuh pendidikan S3 di Jurusan Psikologi
Perkembangan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nurhadi: dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan
Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Kini sedang menempuh pendidikan S3 pada Program Ilmu
Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kusmarwanti: dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan
Seni, Universitas Negeri Yogyakarta. Gelar Magister Pendidikannya ditempuh di Program
Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Kini sedang menempuh program S2 lainnya di
Program Ilmu Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyarkarta.
Artikel no 54 dimuat pada Jurnal Fenolingua, Universitas Widya Dharma, Klaten, edisi Khusus
Mei 2008; kode: pengembangan model


[1] Bodrova & Leong, D.J.. Tools of The Mind : The Vygotskian Approach to Early ,1996.hlm .12

[2] Howard Gardner. Multiple Intelligences : The Theory in Practice A Reader. New York ,1993.h. 40