PERPUSTAKAAN SEBAGAI
LEMBAGA NIRLABA
di susun oleh :
1.
Oktaviana
11422044
FAKULTAS ADAB
JURUSAN ILMU PERPUSTAKAAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2013
PENDAHULUAN
Lembaga nirlaba adalah suatu lembaga yang bersasaran pokok
untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik publik untuk suatu
tujuan yang tidak komersial, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat
mencari laba. organisasi nirlaba meliputi keagamaan, sekolah negeri, derma
publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat
dalam hal perundang-undangan, organisasi sukarelawan, serikat buruh.
Organisasi nirlaba pada prinsipnya adalah alat
untuk mencapai tujuan (aktualisasi filosofi) dari sekelompok orang yang
memilikinya. Karena itu bukan tidak mungkin diantara lembaga yang satu dengan
yang lain memiliki filosofi (pandangan hidup) yang berbeda, maka
operasionalisasi dari filosofi tersebut kemungkinan juga akan berbeda. Karena
filosofi yang dimiliki organisasi nirlaba sangat tergantung dari sejarah yang
pernah dilaluinya dan lingkungan poleksosbud (politik, ekonomi, sosial dan
budaya) tempat organisasi nirlaba itu ada.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Nirlaba merupakan
suatu sifat yang tidak mengutamakan pemerolehan keuntungan. Jadi dapat di tarik
kesimpulan perpustakaan sebagai nirlaba yaitu Perpustakaan sebagai lembaga
informasi dalam memberikan pelayanan informasi kepada masyarakat tidak menitikberatkan
pada pencari keuntungan materi dalam mencapai tujuan.
PERPUSTAKAAN SEBAGAI
LEMBAGA NIRLABA
A. Pengertian lembaga Nirlaba
Lembaga nirlaba adalah suatu lembaga yang bersasaran pokok
untuk mendukung suatu isu atau perihal di dalam menarik publik untuk suatu
tujuan yang tidak komersial, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang bersifat
mencari laba. organisasi nirlaba meliputi keagamaan, sekolah negeri, derma publik,
rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis, bantuan masyarakat dalam hal
perundang-undangan, organisasi sukarelawan, serikat buruh.[1]
Menurut PSAK No.45 bahwa organisasi nirlaba
memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain
yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari organisasi tersebut. (IAI, 2004:
45.1)
Lembaga atau organisasi nirlaba merupakan suatu
lembaga atau kumpulan dari beberapa individu yang memiliki tujuan tertentu dan
bekerja sama untuk mencapai tujuan tadi, dalam pelaksanaannya kegiatan yang
mereka lakukan tidak berorientasi pada pemupukan laba atau kekayaan semata
(Pahala Nainggolan, 2005 : 01).
Lembaga
nirlaba atau organisasi non profit merupakan salah satu komponen dalam
masyarakat yang perannya terasa menjadi penting sejak era reformasi, tanpa
disadari dalam kehidupan sehari-hari kini semakin banyak keterlibatan lembaga
nirlaba.
Organisasi nirlaba pada prinsipnya adalah alat
untuk mencapai tujuan (aktualisasi filosofi) dari sekelompok orang yang memilikinya.
Karena itu bukan tidak mungkin diantara lembaga yang satu dengan yang lain
memiliki filosofi (pandangan hidup) yang berbeda, maka operasionalisasi dari
filosofi tersebut kemungkinan juga akan berbeda. Karena filosofi yang dimiliki
organisasi nirlaba sangat tergantung dari sejarah yang pernah dilaluinya dan
lingkungan poleksosbud (politik, ekonomi, sosial dan budaya) tempat organisasi
nirlaba itu ada.
B. Ciri-Ciri lembaga Nirlaba
1. Sumber daya
berasal dari para penyumbang yang tidak mengharapakan pembayaran kembali
atas manfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumber daya yang diberikan.
2. Menghasilkan barang dan/ atau jasa tanpa
bertujuan memupuk laba, dan kalau suatu entitas menghasilkan laba, maka
jumlahnya tidak pernah dibagikan kepada para pendiri atau pemilik entitas
tersebut.
3. Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada organisasi
bisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam
organisasi nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau
kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsi pembagian sumber daya entitas
pada saat likuiditas atau pembubaran entitas.[2]
C. Keadaan Organissai Nirlaba di Indonesia
Menurut Wikipedia Indonesia, organisasi nirlaba adalah suatu organisasi yang bersasaran pokok
untuk mendukung suatu isu atau perihal didalam menarik perhatian publik untuk
suatu tujuan yang tidak komersial, tanpa ada perhatian terhadap hal-hal yang
bersifat mencari laba (moneter). Organisasi nirlaba meliputi gereja, sekolah
negeri, derma publik, rumah sakit dan klinik publik, organisasi politis,
bantuan masyarakat dalam hal perundang-undangan, organisasi jasa sukarelawan,
serikat buruh, asosiasi profesional, institut riset, museum, dan beberapa para
petugas pemerintah.
Karakter dan tujuan dari Lembaga nirlaba menjadi jelas terlihat ketika
dibandingkan dengan organisasi laba . lembaga nirlaba berdiri untuk mewujudkan perubahan pada
individu atau komunitas, sedangkan lembaga laba sesuai dengan namanya
jelas-jelas bertujuan untuk mencari keuntungan. Organisasi nirlaba menjadikan
sumber daya manusia sebagai asset yang paling berharga, karena semua aktivitas
organisasi ini pada dasarnya adalah dari, oleh dan untuk manusia.
Organisasi laba memiliki kepentingan yang besar terhadap berkembangnya
organisasi nirlaba. Dari onganisasi inilah sumber daya manusia yang handal
terlahir, memiliki daya saing yang tinggi, aspek kepemimpinan, serta sigap
menghadapi perubahan. Hampir diseluruh dunia ini, organisasi nirlaba merupakan
agen perubahan terhadap tatanan hidup suatu komunitas yang lebih baik. Daya
jelajah mereka menyentuh pelosok dunia yang bahkan tidak bisa terlayani oleh
organisasi pemerintah. Kita telah saksikan sendiri, bagaimana efektifnya daya
jelajah organisasi nirlaba ketika terjdi bencana tsunami di Aceh, ratusan
organisasi nirlaba dari seluruh dunia seakan berlomba membuat prestasi tehadap
proyek kemanusiaan bagi masyarakat Aceh. Organisasi profit juga mendapatkan
keuntungan langsung dengan majunya komunitas, mereka mendapatkan market yang
terus bertumbuh karena daya beli komunitas yang kian hari kian berkembang atas
pembinaan organisasi nirlaba.
Contoh Lembaga Nirlaba
A. Yayasan Sosial Misalnya : Supersemar, Yatim Piatu dsb
B. Yayasan Dana, misalnya : Pundi Amal SCTV, RCTI Peduli, Dompet
Dhu’afa,
C. Lembaga Advokasi. Misalnya : Perlindungan
kekerasan dalam RT
D. Balai Keselamatan. Misalnya : Tim SAR
E. Yayasan Kanker Indonesia
F. PMI
D.
PERPUSTAKAAN SEBAGAI LEMBAGA NIRLABA
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Nirlaba merupakan suatu sifat yang tidak mengutamakan
pemerolehan keuntungan. Jadi dapat di tarik kesimpulan perpustakaan sebagai
nirlaba yaitu Perpustakaan sebagai lembaga informasi dalam memberikan pelayanan
informasi kepada masyarakat tidak menitikberatkan pada pencari keuntungan
materi. Dalam mencapai tujuan. [3]
Dalam memberikan pelayanan itu pada hakikatnya perpustakaan
memberikan produk yang berupa jasa. Oleh sebab itu , perpustakaan dapat di
katakana sebagai lebaga yang membantu orang yang datang untuk memanfaatkan
jasanya , itulah di katakan perpustakaan sebagai lembaga nirlaba, lembaga yang
lebih mengutamakan pelayanan bukan keuntungan
( laba ).
Apabila
di tinjau dari segi penghasilan dana dan sifat pengedalian usaha, lembaga
nirlaba dapat dibagi menjadi empat,yaitu :
1.
Lembaga
donatif. Yakni suatu lembaga yang dana oprasionalnya berasal dari
sumbagan/donasi. Contoh lembaga dalam kategori ini adalah yayasan keagamaan ,
palang merah Indonesia, yayasan social, lembaga anak jalanan, yayasan santunan
pendidikan, dan lainnya.
2.
Lembaga
komersial, yakni suatu lembaga yang bersumber dananya berasal dari pembayaran
masyarakat berdasarkan pelayanan yang di berikan. Lebaga yang dapat di
kategorikan di kelompok ini , antara lain: toko. Mall, biro perjalanan, biro
jasa, dan lainnya.
3.
Lembaga
bersama, yakni suatu lembaga yang memiliki penghasilan yang di peroleh dari
usaha sendiri dan di sokong oleh masyarakat. Lembaga dalam kategori ini, antara
lain : lembaga pendidikan ( termasuk perpustakaan ), rumah sakit, dan lainnya.
4.
Lembaga
kewirausahaan, yakni suatu lembaga yang menejemnya di kendalikan oleh
professional atau wirasuastawan yang dalam oprasionalnya bersifat independent.
Lembaga dalam kategori ini antara lain: pabrik, perusahaan, industry, dan
lainya.
E.
Kerjasama antara lembaga perpustakaan dengan lembaga laba
Seiring dengan kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
yang sedang mengalami “krisis moneter” sejak tahun 1997 dan sampai sekarang,
dampaknya masih sangat dirasakan. Sehingga perpustakaan dan puat-pusat
informasi mengalami berbagai kendala dan kesulitan dalam usaha pengembangan
koleksi dan layanannya (collection development and users services)
Beranjak dari kondisi diatas maka perpustakaan dan pusat-pusat
informasi perlu untuk melakukan kemitraan dengan dunia industri dan bisnis
karena pada konsep kemitraan memperhatikan prinsip-prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat, dan saling menguntungkan.
Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua
belah pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan
bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membersarkan. Agak sedikit
berbeda dengan konsep kerjasama perpustakaan saat ini seperti yang biasa
disebut istilah Library Cooperation, atau Library Networking, kedua kegiatan
tersebut lebih bersifat sukarela tidak saling mengikat dan kadang-kadang saling
ketergantungan, tidak saling menguntungkan.
Pembentukan kemitraan antar pelaku pengelola informasi dan
knowledge management (manajemen pengetahuan) setidaknya akan melibatkan tiga
unsure yaitu : [4]
1)
Pengusaha atau menengah:
• Memberikan bimbingan dalam rangka peningkatan kuantitas dan
kualitas SDM
• Membantu dalam penyusunan rencana pengembangan koleksi dan
fasilitas
• Bertindak sebagai penyandang dana
• Memberikan bimbingan, penyediaan, pembelian, dan penggunaan
teknologi informasi.
2)
Perpustakaan/Pusat Informasi
• Mempromosikan hasil produksi untuk medapatkan pasar yang baik
• Menyediakan sumber-sumber informasi bagi perusahaan terutama
kaitannya dengan pembuatan keputusan/kebijakan perusahaan baik kaitannya dengan
konsumen (pasar), produksi, ketenagaan, dan pemodalan.
• Menyediakan fasilitas atau alat bantu akses informasi bagi para
manajemen perusahaan
• Menyediakan katalog induk
• Menyediakan berbagai jasa informasi bagi anggota mitra
3)
Pembina/Pemerintah :
• Menjadi fasilitator diantara para pelaku kemitraan, kaitannya
dengan perundangan kedua belah pihak
• Membantu penyediaan fasilitas seperti komputer, kursi meja baca,
fasilitas penyimpanan dokumen, dan mebelair lainnya
• Mebantu menyediakan tenaga instruktur, pengajar, dosen untuk
melatih dan membimbing staf kekhususan dalam penggunaan informasi teknologi
• Membantu dalam perlindungan hokum kepada semua pihak.
F.
KONSEPSI KERJASAMA
Konsepsi dasar kerjasama perpustakaan berkembang seiring dengan
tradisi kerjasama antar perpustakaan seperti ; pembuatan katalog induk, silang
layan, dan sebagainya. Beberapa aspek perlu disebutkan disini untuk
dipertimbangkan dalam merancang sistem jaringan kemitraan tersebut.[5]
1.
Saling Ketergantungan : Bahwa
tidak ada satu pun perpustakaan yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri merupakan
kenyataan yang tidak dapat ditolak yang mendasari pembentukan kemitraan
perpustakaan.
2.
Pangkalan Data Bibliografi Skala Besar : Pengembangan suatu pangkalan data bibliografi dalam skala besar
serta penggunaannya secara bersama-sama merupakan salah satu aspek terpenting
dari konsepsi sistem kemitraan perpustakaan.
3.
Standar dan Kualitas : Sangat
erat hubungannya dengan pengkalan data bibliografi diatas. Tanpa adanya standar
yang disepakati, tidak akan tercapai kualitas yang tinggi dari pangkalan data
bibliografi yang dibangun. Bahkan dapat dikatakan, sistem otomatis tidak akan
jalan tanpa standar.
4.
Sistem Otomatis Terpasang : Merupakan
sarana penting dalam setiap kemitraan perpustakaan. Merupakan hasil
perkembangan teknologi komputer yang mengubah konsepsi dasar kemitraan.
5.
Telekomunikasi : Sangat
erat hubungannya dengan teknologi komputer dalam menyelenggarakan sistem
terpasang (online). Merupakan sarana penghubung dari satu perpustakaan ke
perpustakaan lain atau ke pusat komputer yang melayani sistem kemitraan.
6.
Memory of Understanding (MoU) : Dalam
setiap kerjasama perlu adanya keputusan bersama (memory of understanding). Kemerdekaan
tiap anggota janringan untuk bertindak sendiri-sendiri memang sedikit
berkurang. Namun, ini konsekuensi bergabung dalam sistem kemitraan. Yang perlu
direncanakan secara rapi adalah mekanisme pengambilan keputusan bersama.
7.
Semua Jasa Perpustakaan : Dalam
konsepsi kemitraan, diinginkan semua fungsi dan jasa perpustakaan dilaksanakan
secara otomatis. Keinginan ini berdasar pula atas berkembangannya konsepsi
otomasi perpustakaan secara terpadu. Hal ini mengingat bahwa adanya
kesinambungan fungsi perpustakaan (akuisisi, proses, dan diseminasi) yang dapat
dilaksanakan secara lebih menguntungkan dari pemakaian satu pangkalan data
bibliografi dalam skala yang besar.
8.
Akses Kepada Semua Anggota : Dengan
sistem kemitraan diharapkan tiap anggota dapat saling berkomunikasi. Tujuan
akhir yang diinginkan adalah pemerataan informasi bagi semua golongan pemakai.
Namun juga masih harus selalu dipertimbangkan apakah memang semua pemakai
mempunyai hak yang sama.
9.
Integrasi dan Koordinasi : Konsepsi
kuno sistem kemitraan mengusulkan adanya integrasi dan koordinasi dari jasa
yang sekarang ada untuk pembangunan suatu jaringan. Pada kenyataannya justru
integrasi dan koordinasi ini sukar sekali dilaksanakan karena tiap
perpustakaan/pusat informasi mempunyai kecenderungan utnuk mempertahankan
identitasnya. Bahkan, meningkatkan derajat spesialisasinya. Yang perlu
dipertimbangkan dalam pengembangan sistem kemitraan adalah kemampuan untuk
membuat “perangkat antara” hingga pemakai menggunakan cara yang seragam untuk
berbagai jenis sumber informasi.
10.
Satu Jaringan Untuk Semua : Pada
kenyataannya, masih sukar untuk diwujudkan walaupun ide ini secara logis telah
diterima. Beberapa lembaga bahkan mempertahankan untuk mengembangkan kemitraan
sendiri-sendiri, walaupun mereka sadar suatu saat nanti akan bergabung.
11.
Sentralisasi : Sentralisasi
merupakan pendapat yang selalu muncul dalam pembicaraan tentang kemitraan atau
jaringan kerjasama. Pada awal pemikiran tentang jaringan sentralisasi merupakan
faham desentralisasi. Yang menjadi sentral dalam hal ini bukan salah satu
perpustakaan atau lembaga, namun kemitraan itu sendiri. Namun perkembangan
teknologi mendatang masih akan mempengaruhi aspek ini.
12.
Pengembangan Dari Bawah : Secara
teori sangat dimungkinkan pengembangan kemitraan dari tingkat atas (nasional).
Namun sistem kemitraan yang kokoh dalam praktiknya berkembang dari bawah,
berdasar kebutuhan masing-masing perpustakaan dan kemauan mereka untuk
bermitra/bekerjasama.
13.
Perlunya Payung :Yang
dimaksud disini adalah lembaga pada tingkat nasional yang bertanggung jawab
atas pengembangan dan koordinasi sistem kemitraan. Kesepakatan perlunya payung
ini tak terbantahkan, hanya lembaga mana yang ditunjuk perlu disepakati.
14.
Kemitraan Internasional : Merupakan
ajakan yang selalu muncul dalam setiap kegiatan pustakawan dalam tingkat
internasional. Penting dipertimbangkan dalam merencanakan sistem agar
kompatibel dengan sistem internasional bila diinginkan kerjasama dalam tingkat
tersebut.
15.
Biaya dan Produktivitas : Kemauan
bergabung dalam sistem jaringan selalu dipengaruhi dengan kemampuan kemitraan
itu dalam menekan biaya dan menaikkan produksi.
Kerjasama antar perpustakaan dapat dikembangkan untuk mencapai
berbagai tujuan, antara lain saling meminjamkan koleksi (silang layan atau
interlibrary loan), mengadakan pembelian buku bersama, book hunting, saling
meminjam, mendongeng (story telling), dan lain-lain. Dalam bentuk jaringan
kerjasama, perpustakaan akan lebih efektif dalam melaksanakan layanan untuk
mencapai tujuannya.
G.
BENTUK KERJASAMA
Bentuk kemitraan peprustakaan yang lazim dilakukan antara lain
adalah :[6]
1.
Kemitraan/kerjasama pengadaan (akuisisi)
Kemitraan ini dilakukan oleh beberapa perpustakaan, dan saling
bekerjasama dalam pengadaan bahan pustaka (buku). Masing-masing perpustakaan
bertanggung jawab atas kebutuhan informasi pemakainya dengan memilih buku atas
dasar permintaan pemakainya atau berdasarkan dugaan pengetahuan pustakawan atas
keperluan pemakainya. Buku-buku kebutuhan pemakai tadi pengadaannya dilakukan
bersama oleh perpustakaan yang ditunjuk sebagai koordinator kerjasama.
2.
Pertukaran dan Redistribusi
Kemitraan pertukaran dilakukan dengan cara penukaran publikasi
badan induk perpustakaan tersebut dengan perpustakaan lain tanpa harus membeli.
Pertukaran ini biasanya dilakukan dengan prinsip satu lawan satu artinya satu
publikasi ditukar dengan satu publikasi yang tidak memandang jumlah halaman.
Kemitraan redistribusi adalah kerjasama yang dilakukan oleh dua
perpustakaan atau lebih dalam hal penempatan kembali buku-buku yang tidak lagi
diperlukan di suatu perpustakaan atau berlebih di suatu perpustakaa. Buku-buku
tersebut dapat ditawarkan kepada perpustakaan lain yag mungkin lebih
membutuhkan buku tersebut. Intinya, kerjasama ini dibutuhkan untuk meningkatkan
dan memperluas sumber koleksi yang telah ada dengan biaya sekecil mungkin.
3.
Pengolahan Bersama
Dalam bentuk
kemitraan ini, perpustakaan bekerjasama untuk mengolah bahan pustaka. Biasanya
pada perpustakaan universitas dengan berbagai cabang atau perpustakaan umum
dengan cabang-cabangnya, pengolahan bahan pustaka (pengkatalogan,
pengklasifikasian, pemberian label buku, kartu buku dan lain-lain) dikerjakan
oleh satu perpustakaan yang menjadi koordinator kerjasama. Perpustakaan lainnya
cukup menerima buku dalam keadaan siap di shelving dan digunakan. Dalam hal ini
Perpustakaan Nasional menerbitkan bibliografi atau diwujudkan dalam Katalog
Dalam Terbitan (KDT) atau Cataloguing in Publication (CIP).
4.
Penyediaan Fasilitas Bersama
Bentuk
kemitraan ini mungkin terasa janggal bagi perpustakaan di negara maju karena
perpustakaan mereka umumnya selalu terbuka untuk dipakai oleh umum. Dalam
bentuk ini, perpustakaan bersepakat bahwa koleksi mereka terbuka bagi pengguna
perpustakaan lainnya. Perpustakaan biasanya menyediakan fasilitas berupa
kesempatan menggunakan koleksi, menggunakan jasa perpustakaan seperti
penelusuran, informasi kilat, penggunaan mesin fotokopi, namun tidak peminjam
bukan anggota dilakukan dengan menggunakan fasilitas pinjam antar perpustakaan.
5.
Pinjam Antar Pustakawan
Kemitraan ini
merupakan kerjasama profesi. Contohnya IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) atau
Forum-forum komunikasi antar perpustakaan dan pustakawan seperti FPPTI (Forum
Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia), FPUI (Forum Perpustakaan Umum
Indonesia), FPK (Forum Perpustakaan Khusus), dan FPSI (Forum Perpustakaan
Sekolah Indonesia). Kemitraan ini dilakukan antar pustakawan untuk memecahkan
beberapa permasalahan yang dihadapi oleh para pustakawan. Bentuk kemitraan ini
berupa peningkatan keterampilan atau kualitas pelayanan sampai kegiatan ilmiah
atau penelitian. Bahkan bias juga dengan penerbitan buku panduan untuk
pustakwan, pertemuan antar pustakawan, kursus penyegaran untuk pustakawan dan
lain-lain.
6.
Penyusunan Katalog Induk
Dua
perpustakaan atau lebih menuyusun katalog perpustakaan secara bersama-sama.
Katalog tersebut berisi keterangan tentang buku yang dimiliki oleh perpustakaan
peserta kemitraan disertai dengan keterangan mengenai lokasi buku tersebut.
Kemitraan seperti ini bukan hal baru di Indonesia. Bahkan beberapa katalog
induk sudah banyak yang diterbitkan secara nasional, antara lain beberapa
diterbitkan oleh PDII-LIPI.
7.
Pemberian Jasa dan Informasi
Bentuk
kemitraan ini adalah dilakukan oleh dua atau lebih perpustakaan yang sepakat
untuk bekerjasama saling memberikan jasa informasi. Salah satu bentuk kemitraan
ini adalah pinjam antar perpustakaan, jasa penelusuran, dan jasa fotokopi.
Kerjasama seperti ini melibatkan semua sumber daya yang ada di perpustakan.
Jadi tidak terbatas pada pinjam antar perpustakaan saja.
H.
SYARAT-SYARAT KEMITRAAN PERPUSTAKAAN
Dalam mengadakan kemitraan menurut Arlinah (2002) ada beberapa
syarat yang perlu diperhatikan oleh masing-masing anggota kemitraan agar
kemitraan dapat berjalan dengan langgeng dan membawa manfaat yang maksimal bagi
semua pihak yang terlibat, yaitu antara lain :
1.
Kesadaran, kesediaan, dan tanggung jawab untuk
memberi meupun menerima permintaan serta menaati setiap peraturan, mekanisme
maupun harga yang dibuat bersama, yang dituangkan baik dalam bentuk perjanjian
tertulis maupun lisan ;
2.
Memiliki
koleksi pustaka yang terorganisir dengan baik dan siap pakai ;
3.
Memiliki
katalog perpustakaan ;
4.
Memiliki
penanggungjawab dan tenaga yang dapat membimbing pengguna dalam mendayagunakan
pustaka secara bersama ;
5.
Memiliki
peraturan/tata tertib perpustakaan ;
6.
Memiliki
mesin fotokopi maupun peralatan lain yang dibutuhkan sebagai sarana dalam
reproduksi dan telekomunikasi
I.
MANAJEMEN JARINGAN KEMITRAAN
Jaringan kemitraan dan organisasi-organisasi jaringan memunculkan
kebutuhan baru akan tenaga, yaitu mereka yang harus bertindak sebagai pembahas
sistem, perantara, manajer jaringan atau fasilitator. Tak terdapat
aturan-aturan dari luar yang menentukan siapa yang dapat memulai dan siapa yang
dapat mengoperasikan jaringan kemitraan. Prasyarat intrinsiknya adalah
kompetisi, keterlibatan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi kebutuhan utama
pemakai jasa informasi. Selain itu, dedikasi yang sungguh-sungguh terhadap
permintaan-permintaan masyarakat informasi akan adanya pelayanan jaringan
terpadu. Baik itu yang datang dari tingkat lokal, regional, nasional atau
internasional.[7]
Komponen-komponen jaringan kemitraan dapat juga menjadi acuan dalam
membentuk jaringan informasi yang lebih fleksibel. Ada beberapa komponen kritis
yang telah diidentifikasi sebagai hal-hal yang penting dalam pengembangan suatu
jaringan secara berurutan dan terencana, yaitu :
1.
Struktur
organisasi yang dapat menyelenggarakan pertanggungjawaban perpajakan dan hukum,
perencanaan, dan perumusan kebijaksanaan. Hal ini membutuhkan keterikatan,
persetujuan operasional dan tujuan yang sama.
2.
Pengembangan
sarana-sarana secara bekerjasama termasuk kemitraan pengadaan bahan pustaka dan
memperkuat sarana-sarana lokal untuk materi yang digunakan. Pengembangan sarana
multimedia juga dianggap penting dalam hal ini.
3.
Penciptaan
sistem komunikasi yang memungkinkan terselenggaranya “percakapan” dan yang
dirancang untuk menyalurkan jumlah pesan/dokumen yang diinginkan pada setiap
tingkat operasi.
4.
Kriteria-kriteria
dan prosedur evaluasi untuk memungkinkan terselenggaranya umpan balik dari
pemakai dan penyelenggara .
5.
Program-program latihan untuk penyediaan
bimbingan kepada pemakai.
TAMBAHAN PERBAIKAN
Batasan Organisasi lembaga non profit
1. Public benefit :
contoh nya sekolah , jadi , public benefit merupakan suatu pelayanan yang
bersifat umum dan pengambilan laba di gunakan untuk mengembangkan lembaga
tersebut demi kepentingan umum.
2. Private benefit
: contohnya perpustakaan , jadi , private benefit merupakan laba atau
keuntungan yang di dapat digunakan kembali untuk operasional bukan untuk
bermewahan bagi pihak tertentu.
3. Mutual benefit : contohnya konsultan, jadi , mutual
benefit merupakan laba atau keuntungan yang di dapat digunakan secara bersama
antara anggota di dalam organisasi.
Perpustakaan merupakan lembaga nonprofit yang tidak
mengharapkan suatu laba , perpustakaan lebih mengandalakan SDM , walaupun dalam
perpustakaan dibolehkan mengambil
keuntungan atau laba dari fotocopy, laba tersebut digunakan kembali untuk
operasional dan di gunakan untuk kepentingan perpustakaan sendiri .
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam sejarah perpustakaan tidak pernah ada perpustakaan yang dapat
berdiri sendiri dalam memenuhi semua kebutuhan penggunanya. Betapapun besarnya
dana yang tersedia, tak akan pernah ada perpustakaan yang dapat mengumpulkan
sumber informasi secara menyeluruh dalam jumlah maupun jenisnya. Oleh karena itu
setiap perpustakaan akan memerlukan perpustakaan lain dalam memenuhi kebutuhan
pemakainya. Dengan kesadaran ini, usaha-usaha kemitraan antar satu perpustakaan
dengan perpustakaan lain perlu semakin digalakkan dengan harapan kelemahan dari
satu perpustakaan dapat dilengkapi oleh perpustakaan lain. Dengan demikian
masing-masing pihak dapat memberi dan mendapatkan keuntungan dari pihak lain,
dengan tujuan utama memberikan pelayanan yang maksimal untuk memenuhi kebutuhan
pengguna akan informasi.
Jadi bila satu perpustakaan membutuhkan dan memanfaatkan pelayanan
perpustakaan lain tidak berarti perpustakaan tersebut dalam kondisi kekurangan,
tetapi sebaliknya, kesempatan untuk dapat memanfaatkan perpustakaan lain tak
boleh pula menjadi alasan untuk tidak mengembangkan atau memperbaiki kondisi perpustakaan.
Pada akhirnya, marilah mengambil sikap positif dalam pengembangan
koleksi bahan pustaka antar perpustakaan, yang lebih universal kemasannya,
karena pengembangan koleksi itu tidak melulu pada bahan pustaka tetapi lebih
mengarah pada penyediaan informasi secara konkrit yang dibutuhkan pemakai. Pada
saat ini masalah utama dari setiap perpustakaan adalah ketersediaan koleksi
yang sangat terbatas. Karena itu kemitraan yang paling relevan dilakukan
diantara perpustakaan – berbagai jenis perpustakaan tentunya – adalah kerjasama
pemanfaatan bersama koleksi (resource sharing) dan pinjam antar perpustakaan.
Beberapa perpustakaan dapat saling berkomunikasi dan membuat kesepakatan
bekerjasama (bermitra).
Salah satu perpustakaan yang dianggap paling kuat dapat ditujuk
menjadi focal point yang merupakan pusat jaringan. Secara periodik setiap
perpustakaan dapat saling bertukar koleksi yang kemudian dipinjamkan kepada
pemakainya. Keamanan koleksi yang dipinjamkan kepada pemakai berada dibawah
tanggung jawab perpustakaan yang bersangkutan. Dengan cara bertukar koleksi ini
maka sebagian pemakai tidak bosan datang ke perpustakaan. Bila kemitraan ini
berjalan dengan baik, maka kerjasama selanjutnya dapat dikembangkan bersama
sesuai dengan kebutuhan.***
DAFTAR PUSTAKA
Arlinah (2002). Manajemen Kerjasama Antar Perpustakaan. http://incuvl.petra.ac.id /forums/file1/htm.
Evans, G. Edward (2002). Developing Library and Information
Centre Collection.
Pendit, Putu Laxman. Jaringan Sosial and Modal Sosial. (makalah
pengantar diskusi JIBIS- Humaniora).
Jakarta : 21 Mei 2002.
Ratnawati, Sintha (2002). Kumpulan Artikel Alumni dan Mahasiswa
Program Studi Ilmu Perpustakaan Program
Pasca Sarjana FIB-UI. Hal. 143.
Rohanda. Analisis Pola Kerjasama jaringan Informasi TTG.
Universitas Indonesia, 1994.
----------. Analisis Model komunikasi TTG Bidang Kesehatan,
Pertanian dan Peternakan. Lemlit- Unpad, 2003.
----------. Kajian Tentang Pola Kemitraan Antar Pelaku Ekonomi,
Studi di Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Kementerian Percepatan
Pembangunan Kawasan timur Indonesia, 2004.
Saleh, A.R. (2003). Membangun jaringan Kerjasama dalam Rangka
Pemberdayaan Perpustakaan Umum.
Makalah pada Seminar dan Rapat Kerja Forum Perpustakaan Umum Indonesia 16-17 Juni 2003.
Sulistyo-Basuki. Information Networks and Library Cooperation in
Indonesia (paper), 2002, diturunkan
dari http://www.goethe.de/so/jak/inindex.htm.
Sutoyo, agus dan Joko Santoso (2001). Strategi dan Pemikiran
Perpustakaan : Visi Hernandono.
Jakarta : CV. Sagung Seto.
[1]
Sulistyo-Basuki.
Information Networks and Library Cooperation in Indonesia (paper), 2002,
diturunkan dari http://www.goethe.de/so/jak/inindex.htm.
[3]
Sutoyo,
agus dan Joko Santoso Strategi dan Pemikiran Perpustakaan : Visi
Hernandono. (2001). Jakarta : CV. Sagung Seto.hal. 78
[4]
Ratna
wati, Sintha (2002). Kumpulan Artikel Alumni dan Mahasiswa Program Studi
Ilmu Perpustakaan Program Pasca Sarjana FIB-UI. Hal. 143.
[5]
Sulistyo-Basuki.
Information Networks and Library Cooperation in Indonesia (paper), 2002,
diturunkan dari http://www.goethe.de/so/jak/inindex.htm.
[6]
Rohanda. Kajian
Tentang Pola Kemitraan Antar Pelaku Ekonomi, Studi di Kawasan Timur Indonesia. Jakarta :
Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan timur Indonesia, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar